RUU yang Diharapkan Jadi Senjata, tapi Bisa Jadi Pedang Bermata Dua

DELİK INFO | Bengkulu – Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM kembali menegaskan komitmen mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Regulasi ini di gadang-gadang sebagai langkah progresif memperkuat pemberantasan korupsi sekaligus mempercepat pengembalian kerugian negara.

Namun, di balik semangat antikorupsi yang membara, muncul pertanyaan mendasar:

Bacaan Lainnya

“Apakah RUU ini benar-benar solusi atas kebuntuan penegakan hukum, atau justru menyimpan potensi ancaman terhadap prinsip keadilan dan hak asasi manusia?”

RUU Perampasan Aset memperkenalkan mekanisme non-conviction based asset forfeiture — perampasan aset tanpa harus menunggu putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Artinya, negara dapat langsung menyita aset yang di duga hasil tindak pidana, meski pemiliknya belum terbukti bersalah di pengadilan.

Sekilas, ini terdengar revolusioner. Selama ini banyak aset hasil kejahatan—khususnya korupsi—menghilang atau dialihkan sebelum putusan inkracht. Mekanisme baru ini memberi ruang negara untuk bertindak cepat.

Arifah Syafitri Azzahra, S.H

Namun, efisiensi bukan segalanya. Asas praduga tak bersalah adalah jantung sistem peradilan pidana Indonesia. Memberi kewenangan luar biasa tanpa kontrol ketat berisiko menabrak prinsip tersebut. Kebijakan yang lahir dari semangat keadilan bisa berubah menjadi bentuk baru ketidakadilan bila tidak di jalankan dengan hati-hati.

RUU ini menimbulkan di lema klasik: kecepatan vs keadilan. Pemerintah menilai mekanisme ini akan mempercepat pemulihan kerugian negara. Namun, dalam negara hukum, kecepatan tidak boleh mengorbankan kepastian hukum dan perlindungan hak asasi.

Bayangkan jika seseorang di tuduh memiliki aset hasil kejahatan, padahal ia tidak bersalah. Asetnya bisa langsung disita bahkan sebelum proses pembuktian selesai. Kerugian materiil mungkin dapat di ganti, tetapi kerusakan kepercayaan terhadap hukum akan sulit di pulihkan.

RUU ini perlu memberikan jawaban konkret: bagaimana memastikan perlindungan hak warga negara ketika negara di berikan kewenangan luar biasa?

Selain persoalan prinsip, RUU ini berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan. Draf RUU menempatkan Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK sebagai pelaksana perampasan aset. Namun, batas kewenangan dan koordinasi antar lembaga belum di atur jelas.

Indonesia sudah lama akrab dengan gesekan antar lembaga penegak hukum — dari perebutan kewenangan penyidikan hingga perbedaan tafsir hukum. Jangan sampai RUU yang di maksudkan memperkuat negara justru membuka babak baru konflik sektoral.

Pengelolaan aset hasil rampasan juga menjadi titik rawan. Tanpa sistem transparan dan pengawasan publik, aset bernilai besar bisa berubah menjadi ladang korupsi baru, berbungkus legalitas hukum.

Secara politik hukum, RUU ini merefleksikan tekad negara menunjukkan ketegasan terhadap korupsi. Namun, ketegasan tanpa kehati-hatian berpotensi menjelma menjadi bentuk otoritarianisme hukum.

RUU ini seharusnya tidak hanya menjadi simbol keberanian pemerintah, tetapi juga bukti kedewasaan negara hukum dalam menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan perlindungan hak dasar warga. Prinsip due process of law harus tetap di tegakkan — sebab negara hukum sejati tidak hanya menilai hasil akhir, tetapi juga cara yang di tempuh untuk mencapainya.

Keterlibatan publik, akademisi, dan masyarakat sipil sangat penting dalam proses legislasi ini. Produk hukum yang terburu-buru sering kali menjadi sumber masalah baru di kemudian hari.

Tidak ada yang menolak pemberantasan korupsi. Tetapi melawan korupsi dengan melanggar hak warga negara sama saja menciptakan bentuk ketidakadilan baru.

RUU Perampasan Aset harus dibangun di atas prinsip keseimbangan: antara hak negara melindungi kepentingan publik dan hak individu memperoleh perlindungan hukum. Keberanian negara bertindak tegas memang penting, namun keberanian untuk tetap adil jauh lebih penting.

Yang dipertaruhkan bukan hanya uang negara yang hilang, melainkan kepercayaan rakyat terhadap sistem hukum.

RUU Perampasan Aset dapat menjadi tonggak penting reformasi hukum Indonesia — jika dijalankan dengan transparansi, kehati-hatian, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

“Hukum yang kuat bukan hukum yang cepat menghukum, tetapi hukum yang menegakkan keadilan bagi semua.”

Dalam semangat pemberantasan korupsi, jangan sampai kita menciptakan ketakutan baru: bahwa negara dapat merampas bukan hanya aset, tetapi juga rasa aman dan keadilan.

Penulis Artikel  :  Arifah Syafitri Azzahra, S.H.

Please follow and like us:

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *