Delik INFO – Bengkulu | Skandal pengelolaan aset daerah kembali membongkar borok lama Kota Bengkulu. Setelah sekian tahun menguap, kini publik dikejutkan oleh penetapan tersangka dalam kasus korupsi Mega Mall dan Pasar Tradisional Modern (PTM). Tak tanggung-tanggung usai di tetapkannya Ahmad Kanedi, mantan Wali Kota sekaligus mantan senator DPD RI, kini giliran Direktur Utama PT Tigadi Lestari, pihak pengelola swasta.
Baca Juga : mega-skandal-mega-mall-ahmad-kanedi-alias-bang-ken-dijebloskan-aset-rakyat-nyaris-raib
Alih-alih di kelola demi kemakmuran rakyat, pada masa kepemimpinan Ahmad Kanedi (2007–2012), lahan tersebut berubah status menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan di gadaikan ke bank oleh pihak ketiga PT Tigadi Lestari.
Baca Juga : alfian-martedy-pengatur-jabatan-di takuti-di-bengkulu-bungkam-di-depan-hakim-delik-info
Lebih tragis lagi, sejak mall beroperasi, tidak ada satu rupiah pun masuk sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD). Potensi kerugian negara di perkirakan mencapai puluhan miliar rupiah.
Dua Tersangka: Jalur Hukum Di mulai
Selang empat hari usai penetapan Ahmad Kanedi, pada 26 Mei, giliran Kurniadi Benggawan yang di ciduk di kawasan elit Permata Hijau, Jakarta Selatan.
Keduanya di duga kuat terlibat dalam praktik penyimpangan aset daerah dan gagal mempertanggungjawabkan pengelolaan Mega Mall serta PTM secara profesional dan sesuai aturan.
Rekam Jejak Mencurigakan: Klaim Asuransi Miliaran
Fakta menarik lain: pada 2019, PT Tigadi Lestari menerima klaim asuransi sebesar Rp. 14 miliar dari PT Victoria Insurance terkait kebakaran Mega Mall pada Desember 2018. Pertanyaannya, ke mana larinya dana itu?
Siapa Lagi yang Terlibat?
Berikut Pola Skema Pertanggungjawaban kebijakan Kasus Mega Mall :
Kejaksaan Tinggi Bengkulu menegaskan, penyidikan tidak berhenti di dua nama ini. Penyidik kini menyisir peran pejabat lain, termasuk:
- Mantan Sekretaris Daerah (Sekda)
- Kepala BPKAD
- Bagian Aset & Bagian Hukum
- Pengurus legislatif yang mengesahkan dokumen kerja sama tanpa pengawasan ketat
“Mega Mall bukan sekadar pusat belanja. Ia adalah simbol dari bagaimana aset negara bisa berubah menjadi bancakan, jika pengawasan dan integritas di tukar dengan kepentingan pribadi.” (RED)