Delik INFO | Bengkulu – Reforma agraria menjadi salah satu isu strategis yang terus menjadi sorotan publik, terutama dalam kaitannya dengan ketimpangan penguasaan tanah, konflik agraria, dan pemberdayaan masyarakat desa. Program ini bukan sekadar redistribusi tanah, tetapi juga merupakan upaya korektif untuk menciptakan keadilan sosial dan ekonomi di sektor agraria.
Secara prinsip, Reforma Agraria adalah penataan ulang struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah agar lebih berkeadilan. Program ini terdiri atas dua pilar utama: redistribusi tanah dan legalisasi aset. Di bawah pemerintahan saat ini, program ini menjadi bagian dari prioritas nasional yang di integrasikan ke dalam agenda pembangunan.
Baca Juga :
Lima Tersangka Dijebloskan Kejati Bengkulu, Siapa Dalang Korupsi SPPD di DPRD Bengkulu?
Menurut data Kementerian ATR/BPN, hingga pertengahan 2025, total redistribusi tanah yang telah di realisasikan mencapai lebih dari 6,3 juta hektare, dari target 9 juta hektare hingga akhir periode RPJMN. Ini mencakup pemberian sertifikat tanah kepada masyarakat miskin, petani penggarap, hingga masyarakat adat yang selama ini tidak memiliki kepastian hukum atas lahan yang mereka tempati.
Namun di balik angka-angka tersebut, pelaksanaan reforma agraria di lapangan tidak selalu mulus. Berbagai tantangan muncul, mulai dari tumpang tindih perizinan, konflik dengan korporasi, hingga lemahnya pendampingan pasca-redistribusi. Banyak kasus di mana tanah yang sudah di bagikan kembali beralih ke tangan pemodal besar karena minimnya pengawasan dan penguatan kapasitas penerima manfaat.
Baca Juga :
BREAKING NEWS – Kejati Bengkulu Tetapkan 5 Tersangka Kasus Dugaan Korupsi DPRD: Mantan Sekwan hingga THL Ditahan di Rutan Malabero
Pakar agraria dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Gunawan Wiradi, pernah menekankan bahwa reforma agraria sejati tidak hanya mengubah status hukum tanah, tapi juga harus mengubah struktur ekonomi pedesaan. Artinya, pemberian tanah harus di barengi dengan akses permodalan, penyuluhan, dan integrasi dalam rantai ekonomi yang berkelanjutan.
Pemerintah sendiri telah meluncurkan program Bank Tanah, sebagai instrumen baru untuk mendukung reforma agraria dan pengendalian pemanfaatan lahan. Namun inisiatif ini juga menuai kritik, karena di khawatirkan membuka celah baru bagi akumulasi lahan oleh investor besar.
“Reforma agraria bukan hanya proyek politik, tetapi panggilan konstitusi untuk menata ulang relasi antara rakyat dan tanah,” ujar seorang aktivis agraria dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Baca Juga :
Wamen ATR-BPN dan Komnas HAM Satukan Langkah Selesaikan Konflik Agraria Berbasis HAM
Dengan kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dan beragam, upaya mewujudkan reforma agraria memang tidak bisa instan. Namun dengan komitmen politik yang kuat, partisipasi masyarakat sipil, serta transparansi dalam proses, cita-cita keadilan agraria bisa lebih dekat menjadi kenyataan.