Delik INFO, BENGKULU – Kembali digelar Sidang lanjutan perkara fraud BSI Bengkulu Cabang S. Parman dan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan terdakwa TKD di Pengadilan Negeri Bengkulu, Senin (10/3/2025) siang. Dengan agenda sidang mendengar keterangan dua saksi ahli yang dihadirkan JPU Kejati Bengkulu.
Dua saksi ahli tersebut adalah DR Flora, dosen Universitas Indonesia, yang disebut sebagai ahli perbankan dan TPPU, dan Profesor Hendi, ahli perbankan syariah dari STIEBI atau Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bisnis Indonesia, Jakarta.
“Jadi, terkait dengan perkara TKD ini, kan ada tindak pidana perbankan syariah yang terjadi. Nah, ketika ada yang keluar yang patut diduga kalau uang itu merupakan uang dari atau mungkin uang yang bersumber dari kejahatan, itu larinya ke TPPU,” kata JPU Kejati Bengkulu, Lucky Selvano Marigo SH MH terkait alasan menghadirkan dua saksi ahli tersebut.
Lucky mengatakan, dalam perkara ini ada sejumlah pasal yang dipersangkakan kepada terdakwa TKD. Baik pasal di KUHP maupun di TPPU. Pasal-pasal itu antara lain Pasal 63 ayat 2 KUHP dll junto Pasal 55 KUHP, lalu Pasal 3,4,5 dan 10 TPPU.
“Kalau penjelasan dari ahli tadi, Pasal 55 KUHP itu bisa berlaku kepada siapa saja. Bisa dari pihak perbankan, bisa juga orang di luar perbankan. Bisa juga orang di dalam perbankan,” kata Lucky.
Sementara Pasal 10 TPPU itu, kata Lucky, merupakan perwujudan dari Pasal 55 KUHP itu. “Jadi ketika ada seseorang yang rekeningnya menerima atau rekeninnya digunakan untuk menampung, untuk meletak atau melakukan transaksi terkait dengan keuangan dan uang itu kemudian diolah di dalam rekening itu, nah itu pasal 5. Ketika ada pihak lain yang mengirim itu, nah itu Pasal 10,” paparnya.
Lucky mengatakan, dalam perkara ini, dugaan TPPU itu terjadi ketika terdakwa TKD mengolah semuanya, dari membuat buku, membuat rekening, menjual emas nasabah yang tidak tahu-menahu bahwa dia ikut di program itu, uang diolah sendiri, lalu ada pihak lain yang terlibat di situ, maka di situlah tindak pidana
“Fakta di persidangan sebelumnya, yang mengembalikan kan BSI dari dana talangan. Dan ahli sudah menjelaskan bahwa dana talangan itu tergantung kebijakan pimpinan. Memang setiap perbankan ada dana saving. Tidak serta merta itu disalahkan,” katanya.
“Sekarang yang jadi pertanyaan, kok TKD dan suaminya sibuk mengembalikan uang orang? Kalau itu memang permasalahan itu ada masalah di BSI, biarkan BSI yang mengembalikan. Kenapa proses ini ditunggu lama? Kalau ini dilakukan dari kemarin, mungkin tidak sampai begini,” katanya.
Sementara Dede Frastian, selaku kuasa hukum terdakwa, mengatakan bahwa dua ahli yang memberikan kesaksian bahwa Bank konvensional maupun syariah harus tetap menerapkan prinsip kehati-hatian. Caranya adalah dengan menaati SOP di masing-masing bidang.
“Nah, kita coba gali lebih dalam tadi, apakah ketika prinsip kehati-hatian ini tidak dijalankan siapa yang harus bertanggungjawab ketika terjadi fraud atau dugaan tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 63 UU Perbankan Syariah,” kata Dede.
Jawaban saksi ahli, kata Dede, yang bertanggungjawab itu adalah pihak korporasi dengan menggunakan Peraturan Mahkamah Agung tentang kejahatan korporasi. “Namun ini tidak dilakukan. Yang di perkara kita, itu hanya dilakukan oleh subjek hukum orang, yaitu pejabat atau pegawai yang membuat kesalahan tersebut. Siapa? Yaitu terdakwa,” katanya.
Sementara saat disandingkan dengan fakta-fakta di persidangan, kata Dede, pihaknya juga mempertanyakan apakah perkara yang terjadi tersebut merupakan suatu kelalaian atau kesengajaan, yang dibuktikan dengan terbitnya SP 1 yang dikeluarkan oleh BSI kepada semua struktur BSI Cabang S. Parman. Mulai dari BM sampai ke terdakwa.
“Apakah ini yang dimaksud dengan kelalaian? Apakah kelalaian ini dapat dipertanggungjawabkan? Tentu bisa dipertanggungjawabkan. Namun ahli kan kapasitasnya tidak sampai ke situ. Pembuktian ada di penyidik dan penuntutan ada di JPU. Ahli cuma menerangkan, ya bisa saja dilakukan itu sepanjang permasalahan tersebut melanggar asas kehati-hatian dan juga dilakukannya terus menerus. Harusnya sudah diketahui,” urai Dede.
Selain itu, lanjut Dede, pihaknya juga mempertanyakan apa imlementasi lain terkait prinsip kehati-hatian itu selain SOP. Ahli, kata Dede, menyebut berbentuk laporan. Bisa harian, bulanan, semester atau tahunan.
“Pelaporan memang dilakukan oleh BSI. Namun pencegahan, tidak dilakukan. Karena ahli Flora tadi menyatakan juga bahwa korporasi dapat ditindak apabila terjadi kerugian karena tidak melakukan pencegahan. Itu yang tidak dilaksanakan BSI. Kami menduga, ini juga ada kekeliruan dalam hal penyidikan. Kekeliruan itu, kita lihat siapa yang melapor, siapa terlapor. Kita sama-sama melihat dalam perkembangan perkaranya tidak ada lagi dikaitkan dengan manajemen yang melakukan kelalaian dan sudah diklarifikasi BIS melalui SP,” paparnya.
Dede menambahkan, pihaknya juga menggali terkait dana talangan kepada saksi ahli Prof Hendi. Menurut Dede, saksi ahli menyatakan tidak ada dana talangan itu di bank, berdasarkan pengalamannya menjadi saksi ahli dalam perkara serupa.
“Tetapi dalam perkara ini kok terburu-buru memberikan dana talangan? Ada apa? Apakah ini modus operandinya untuk mencuci tangan? Agar yang dijadikan tersangka hanya klien kami. Hanya terdakwa. Pihak bank terhadap kelalaiannya, seolah-olah sebagai pihak yang tersakiti, playing victim, akibat dari kejadian ini. Lucunya, di mix. Ada dana talangan ada dana pengembalian kerugian. Kalau talangan, talangan saja. Jangan digerogoti terdakwanya,” pungkas Dede. (RED)1532